Sebuah Kisah untuk mengikhlaskan....
Daun yang jatuh tak
pernah membenci angin.
Sebuah kisah untuk
mengikhlaskan…
Sejak sore
aku memang terletap. Kenapa aku terlelap? Entahlah.
Kerjaan memang sudah selesai tapi pikiran rasanya susah sekali buat diajak
kerjasama. Apa mungkin karena kolestrolku naik? Entahlah.. Malamnya aku terbangun, sudah jam sembilan malam
ternyata. Malas mandi, aku hanya cuci muka dan minum air putih. Di tenggorokanku,
rasa haus ini tak kunjung hilang.
Seperti
biasa, aku bermimpi dikejar-kejar oleh sesuatu. Untungnya mimpiku ini seru,
disana aku tahu aku sedang bermimpi, walaupun mimpi itu bisa dikategorikan
buruk aku menikmatinya. Dengan setting
seperti Walking Dead atau Resident Evil siapa yang adrenalinnya tak
terpacu? sudah pasti ingin melihat sampai akhir. Dipikir-pikir lagi, terlepas
dari ornamen mimpi, aku lari dari apa? pertanyaan ini terus mengantung…
Aku teringat
sesuatu, titipan dari sahabat karibku untuk Diajeng, aah setelah kubuka
ternyata isinya kumpulan novel dan komik. Kulirik sejenak deretan novel itu,
kebanyakan dari penulis terkenal seperti Tere Liye dan lain-lain. Malas, aku
ambil komiknya. Setelah beberapa kali membolak-balik isi komik itu perasaan
malas semakin menancap kuat di dada. Bagaimana bisa tidak? Dengan pengambaran
yang terlalu alay, komik itu sudah
sukses membuatku semakin bete. Apalagi dengan ceritanya yang benar-benar
seperti sinetron-sinetron di tv, aaah aku semakin bete.
Setelah
semua prahara itu perhatianku tercuri oleh sebuah novel dari Tere Liye, Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Aku teringat, ini novel pernah booming
di kelasku dulu. Buku ini dulu pernah menjadi maestro pembicaraan di antara
cewek di kelas. Pada saat itu, minatku pada novel sudah tergerus oleh tumpukan
tugas dari guru. Bagaimana bisa membaca novel dengan santai apabila di depan
mata sudah menumpuk puluhan angka dan rumus-rumus yang meminta untuk disayangi?
Sekarang aku
mempunyai kesempatan untuk membacanya.
09.22 PM
Kisahnya
cukup bisa dimengerti, buku ini mempunyai tokoh utama bernama Tania. Tania adalah seorang gadis
berumur sebelas tahun yang kurang beruntung, ayahnya hanya seorang buruh kuli
bangunan dan sudah meninggal tiga tahun lalu. Hanya ada dia dan adiknya serta
ibu yang sakit-sakitan. Pembuka novel ini berlatarkan Tania yang mengunjungi
toko buku dengan segala melankolinya. Tipikal sih menurutku, mudah sekali
ditebak kemana arah ceritanya.
Penulisan
buku ini mengunakan framing flashback,
tokoh utama mengingat masa lalu yang diceritakan secara apik. Dengan mengunakan
sudut pandang orang pertama, Tere Liye membuat kisah melankoli ini semakin
menjadi-jadi. Diawali dengan kisah sedih dimana tokoh utama harus mengamen
bersama adiknya untuk sekadar menyambung hidup menambah bumbu ke-drama-an di
kisah ini.
Tokoh utama jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada malaikat penolongnya. Konsep utama dari cerita sudah dapat diterka hanya dengan
membaca tulisan di sampul belakang. Konsep ini menjadi semakin jelas dengan Tere
Liye yang mengungah kisah ini menjadi bagaimana Tania sebagai tokoh utama seorang gadis geulis (cantik) berdinamika dalam mengelola perasaannya pada malaikat itu.
Opiniku
sendiri pada tokoh utama ini adalah buruk, terlalu dini untuk mengenal cinta.
Tere Liye mengambarkan Tania sebagai gadis belia yang mengenal cinta. Tapi
umurnya tidak tangung-tanggung, Kelas 4 SD! Kalau cerita ini dibaca oleh
pra-remaja (anak SD dkk) tentu efek sampingnya akan luar biasa. Apalagi dengan
kemampuan intreprestasi anak-anak yang kurang, novel ini bisa menginspirasi
mereka untuk semakin tenggelam dalam dunia cinta (yang aku rasa terlalu dini
untuk mereka!).
Framing flashback yang digunakan oleh Tere Liye mencakup dari SD sampai dia akhirnya mendapatkan pekerjaan. Kisah hidupnya (mengesampingkan elemen cinta di novel ini) terlampau utopis. Lulus dari SD dengan nilai bagus dan mendapat beasiswa di luar negeri (disana juga mendapat nilai bagus) dan masuk ke kampus favorit dengan IPK yang sempurna adalah impian semua orang. Tapi sayangnya, aku melihat elemen ini hanya digunakan sebagai pemanis dan perangkai cerita saja. Mungkin Tere Liye ingin fokus ke arah percintaaan saja. Menurutku apabila dieksplor lebih baik, cerita ini tidak akan terlalu mudah ditebak arahnya, tentu kisah ini akan menjadi lebih menarik.
Framing flashback yang digunakan oleh Tere Liye mencakup dari SD sampai dia akhirnya mendapatkan pekerjaan. Kisah hidupnya (mengesampingkan elemen cinta di novel ini) terlampau utopis. Lulus dari SD dengan nilai bagus dan mendapat beasiswa di luar negeri (disana juga mendapat nilai bagus) dan masuk ke kampus favorit dengan IPK yang sempurna adalah impian semua orang. Tapi sayangnya, aku melihat elemen ini hanya digunakan sebagai pemanis dan perangkai cerita saja. Mungkin Tere Liye ingin fokus ke arah percintaaan saja. Menurutku apabila dieksplor lebih baik, cerita ini tidak akan terlalu mudah ditebak arahnya, tentu kisah ini akan menjadi lebih menarik.
“Dulu Anne pernah bilang, orang yang
memendam perasaannya sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai
semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk
menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu
ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta” --Tania
Dari sekian
banyak percakapan yang menjadi cara utama Tere Liye dalam merangkai kisah ini
disamping pikiran tokoh utama, inilah yang paling menyentuh. FYI, sudah dua
bulan ini hatiku kacau. Seperti kutipan diatas aku selalu mencari kesibukan
yang aneh-aneh. Mendesain proyek, menulis serampangan, bermain game online
(yang aku tinggalkan sejak aku SMA karena suatu hal). Aku tidak sadar kalau
setiap malam aku bermimpi untuk menghubungkan semuanya, tapi pada akhirnya aku
lari dari semua itu karena aku yakin ini semua hanya mimpi, hanya rajutan asa
tanpa benang kenyataan!!
Aku tidak
tahu bagaimana sebenarnya perasaanku terhadap Diajeng, Diajeng mungkin juga
tidak tahu bagaimana seharusnya dia terhadapku. Aku menaruh harapan besar
dipundaknya, merajut asa bersama. Tapi, dia tidak nyaman dengan semua itu.
Akhirnya ketika ramadhan kemarin, Diajeng memutus semua komunikasi denganku. Aku?
satu kata, kalang kabut. Pada saat itu aku tidak mengerti. Bagaimana tidak?
Ketika dia pulang kita masih mesra, saling menjanjikan masa depan satu sama
lain. Aku tahu, segala usahaku pasti membuatku semakin dibenci karena usahaku
mencari penjelasan.
Akhirnya aku menyerah, aku
menengelamkan semuanya dalam kisah serampangan.
Aku berjanji
akan meluapkan segala kekesalanku padanya. Menagih semuanya secara kontan. Oleh
karena itu, lima hari setelah lebaran ternyata ada rapat koordinasi. Rapat ini
didatangi oleh semua divisi, mengingat aku dan dia adalah CO dari divisi yang
lumayan penting, aku yakin dia bakal ada disana. “Ini adalah momen yang tepat”
pikirku. Orang tuaku protes kenapa aku harus kembali ke jogja secepat itu, aku
hanya memberikan alasan tentang tanggung jawab. Memang benar aku punya tanggung
jawab besar di rapat itu, tapi dilain sisi ada alasan yang lebih kuat. Aku
harus mendapat penjelasan.
**********
Aku tak bisa berkata apa-apa.
Mulut ini
terkunci rapat melihat Diajeng mempresentasikan progress perkembangan divisinya. Tatapanku kosong, redup dan tak
bisa apa-apa. Ketika waktuku untuk berbicara, aku hanya berbicara
seformal-formalnya. Temanku bertanya ada apa denganku. Tapi aku hanya bisa
membalas dengan senyuman simpul.
Akhir rapat itu aku memberanikan diri. Di depan pintu rumah natas aku menagih semuanya. Tapi cuma suara lirih yang terdengar. “Diajeng, kamu ada waktu buat bicara?” Tanyaku. Tanpa menoleh dia hanya menjawab “ Maaf, aku harus mengejar bus kembali ke magelang, aku nggak menginap di jogja” Entah kenapa, semua kekuatanku lenyap. Aku akhirnya hanya menjawab dengan “ooh” dan langsung nyelonong masuk ke ruangan. Disana aku salah tingkah, aku ingin cepat pulang tapi ada saja yang ketinggalan. Akhirnya dengan susah payah aku sudah ada di parkiran hendak mengambil motor. “Hati-hati Diajeng” ucapan itu keluar sekaku-kakunya dari mulutku. “ Iya, kamu juga ya”
Akhir rapat itu aku memberanikan diri. Di depan pintu rumah natas aku menagih semuanya. Tapi cuma suara lirih yang terdengar. “Diajeng, kamu ada waktu buat bicara?” Tanyaku. Tanpa menoleh dia hanya menjawab “ Maaf, aku harus mengejar bus kembali ke magelang, aku nggak menginap di jogja” Entah kenapa, semua kekuatanku lenyap. Aku akhirnya hanya menjawab dengan “ooh” dan langsung nyelonong masuk ke ruangan. Disana aku salah tingkah, aku ingin cepat pulang tapi ada saja yang ketinggalan. Akhirnya dengan susah payah aku sudah ada di parkiran hendak mengambil motor. “Hati-hati Diajeng” ucapan itu keluar sekaku-kakunya dari mulutku. “ Iya, kamu juga ya”
Aku penakut?
Entah… ada paradoks di hatiku. Aku ingin secepat-cepatnya mendapat penjelasan
tapi disisi lain aku ingin semuanya mengalir. Aku tahu waktunya tidak akan
tepat.
“Bsk malem ketemuan yuk”
“Bsk malem ketemuan yuk”
DI hapeku
tertera kalimat yang terdiri dari empat kata itu. Tidak sia-sia penantianku,
aku yakin semua pertanyaanku akan terjawab secara kontan. Dibayar dengan tunai.
Siangnya,
aku memperbaiki motorku karena koplingnya rusak, ah sial sudah habis banyak
mana harus menunggu lama lagi. Tapi ternyata hariku tidak suram, Diajeng baru
saja selesai reportase. Segera saja aku ajak makan bersama. Sayang tidak bisa
berdua, Teman karib kita berdua Ada disana. Aku memang tidak lapar, tapi aku
iyakan saja karena memang aku sudah kangen berat.
Disana aku
memesan Mie ayam Galau, Mie ayam ini
sebenarnya cuma mie ayam ukuran jumbo dengan bakso yang sangat besar. Terlihat
sedikit gerik aneh dari Diajeng ketika aku memesan itu. Aah biarlah, sekarang
biarkan laki-laki yang mengirim kode. Sejenak kemudian, Diajeng memesan mie
biasa serta es teh lemon. Sepanjang percakapan, hanya kecanggungan yang terasa
walaupun sahabar karibku ini berusaha mati-matian untuk mencairkan suasanya
tetap saja aku tenggelam dibalik mie ayam dengan bakso jumbo ini.
Malamnya semua itu terjadi.
Semua
pertanyaanku terbayar dengan kontan. Dia tetap adalah Diajeng yang aku kenal.
Dia memang butuh waktu untuk menjawab semua pertanyaanku. Aku komplain semuanya
pada dia. Bagaimana aku kehilangan tongkat ketika banyak sekali cobaan,
bagaimana aku hampir saja kehilangan harapan Karena banyak sekali janji-janji
masa depan yang datang.
Ternyata Diajeng hanya butuh jarak saja, untuk memastikan semuanya. Dia tertawa kecil sambil menceritakan bagaimana ibunya mengingatkan hapenya yang selalu berdering meminta perhatian. Aku tersenyum kecut, aku tahu deringan itu adalah aku, tapi dengan pembawaan Diajeng aku tahu semuanya akan baik-baik saja.
Ternyata Diajeng hanya butuh jarak saja, untuk memastikan semuanya. Dia tertawa kecil sambil menceritakan bagaimana ibunya mengingatkan hapenya yang selalu berdering meminta perhatian. Aku tersenyum kecut, aku tahu deringan itu adalah aku, tapi dengan pembawaan Diajeng aku tahu semuanya akan baik-baik saja.
Paginya dia
membangunkanku dengan meneleponku, hampir terharu aku akhirnya melihat foto Diajeng
kembali berada di layar hapeku. Aku kembali besyukur, dia sudah Diajeng yang
dulu dengan candaan renyahnya, suaranya yang seksi tetap saja tidak kehilangan
apapun. Kecanggungan sudah hilang. Semua pertanyaan, semua ketidak-pastian
sudah menguap.
11.20 PM
Walaupun di
buku Tere Liye ini berakhir dengan kisah yang mengantung, Tania berhasil
mengungkapkan kembali perasaannya yang sudah lama dipendam tapi terputus
ditengah jalan dengan sadisnya oleh Tere Liye. Walaupun seperti itu, Tania
mengajarkanku bagaimana menjaga perasaan, bagaimana untuk tetap percaya.
“Cinta tak harus memiliki. Tak da
yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang amat
sempurna. Tabiatnya,
Kebaikannya, Semuanya. Tetapi dia tidak sempurnya. Hanya cinta yang sempurna.
Esok lusa aku mungkin akan menemukan pilihan yang rasional”- Tania
Sebagai
penutup. Malam ini, ah tidak dua bulan ini aku belajar bagaimana caranya
mengikhlaskan, bagaimana untuk tidak terlalu menuntut, bagaimana caranya untuk menerima kenyataan dan bagaimana
berdinamika dalam kisah kita…
Diajeng
terimakasih, terimakasih sudah mengijinkanku menjadi bagian dari hidupmu,
tumbuh besar bersamamu. Semoga kisah kita akan tidak akan berakhir ditangan
Tere Liye yang dengan sadisnya menutup kisah Tania.
Sekali lagi terimakasih Diajeng….
Tribute to @aninditaninda
Sekali lagi terimakasih Diajeng….
Tribute to @aninditaninda
0 comments: