Ini Ceritaku!

Thursday, August 7, 2014

0 comments

Sebuah Kisah untuk mengikhlaskan....

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.

Sebuah kisah untuk mengikhlaskan…

Sejak sore aku memang terletap. Kenapa aku terlelap? Entahlah. Kerjaan memang sudah selesai tapi pikiran rasanya susah sekali buat diajak kerjasama. Apa mungkin karena kolestrolku naik? Entahlah.. Malamnya aku terbangun, sudah jam sembilan malam ternyata. Malas mandi, aku hanya cuci muka dan minum air putih. Di tenggorokanku, rasa haus ini tak kunjung hilang.

Seperti biasa, aku bermimpi dikejar-kejar oleh sesuatu. Untungnya mimpiku ini seru, disana aku tahu aku sedang bermimpi, walaupun mimpi itu bisa dikategorikan buruk aku menikmatinya. Dengan setting seperti Walking Dead atau Resident Evil siapa yang adrenalinnya tak terpacu? sudah pasti ingin melihat sampai akhir. Dipikir-pikir lagi, terlepas dari ornamen mimpi, aku lari dari apa? pertanyaan ini terus mengantung…



Aku teringat sesuatu, titipan dari sahabat karibku untuk Diajeng, aah setelah kubuka ternyata isinya kumpulan novel dan komik. Kulirik sejenak deretan novel itu, kebanyakan dari penulis terkenal seperti Tere Liye dan lain-lain. Malas, aku ambil komiknya. Setelah beberapa kali membolak-balik isi komik itu perasaan malas semakin menancap kuat di dada. Bagaimana bisa tidak? Dengan pengambaran yang terlalu alay, komik itu sudah sukses membuatku semakin bete. Apalagi dengan ceritanya yang benar-benar seperti sinetron-sinetron di tv, aaah aku semakin bete.

Setelah semua prahara itu perhatianku tercuri oleh sebuah novel dari Tere Liye, Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Aku teringat, ini novel pernah booming di kelasku dulu. Buku ini dulu pernah menjadi maestro pembicaraan di antara cewek di kelas. Pada saat itu, minatku pada novel sudah tergerus oleh tumpukan tugas dari guru. Bagaimana bisa membaca novel dengan santai apabila di depan mata sudah menumpuk puluhan angka dan rumus-rumus yang meminta untuk disayangi?

Sekarang aku mempunyai kesempatan untuk membacanya.

09.22 PM

Kisahnya cukup bisa dimengerti, buku ini mempunyai tokoh utama bernama Tania. Tania adalah seorang gadis berumur sebelas tahun yang kurang beruntung, ayahnya hanya seorang buruh kuli bangunan dan sudah meninggal tiga tahun lalu. Hanya ada dia dan adiknya serta ibu yang sakit-sakitan. Pembuka novel ini berlatarkan Tania yang mengunjungi toko buku dengan segala melankolinya. Tipikal sih menurutku, mudah sekali ditebak kemana arah ceritanya.

Penulisan buku ini mengunakan framing flashback, tokoh utama mengingat masa lalu yang diceritakan secara apik. Dengan mengunakan sudut pandang orang pertama, Tere Liye membuat kisah melankoli ini semakin menjadi-jadi. Diawali dengan kisah sedih dimana tokoh utama harus mengamen bersama adiknya untuk sekadar menyambung hidup menambah bumbu ke-drama-an di kisah ini.

Tokoh utama jatuh cinta pada pandangan pertama kepada malaikat penolongnya. Konsep utama dari cerita sudah dapat diterka hanya dengan membaca tulisan di sampul belakang. Konsep ini menjadi semakin jelas dengan Tere Liye yang mengungah kisah ini menjadi bagaimana Tania sebagai tokoh utama seorang gadis geulis (cantik) berdinamika dalam mengelola perasaannya pada malaikat itu.

Opiniku sendiri pada tokoh utama ini adalah buruk, terlalu dini untuk mengenal cinta. Tere Liye mengambarkan Tania sebagai gadis belia yang mengenal cinta. Tapi umurnya tidak tangung-tanggung, Kelas 4 SD! Kalau cerita ini dibaca oleh pra-remaja (anak SD dkk) tentu efek sampingnya akan luar biasa. Apalagi dengan kemampuan intreprestasi anak-anak yang kurang, novel ini bisa menginspirasi mereka untuk semakin tenggelam dalam dunia cinta (yang aku rasa terlalu dini untuk mereka!).

Framing flashback yang digunakan oleh Tere Liye mencakup dari SD sampai dia akhirnya mendapatkan pekerjaan. Kisah hidupnya (mengesampingkan elemen cinta di novel ini) terlampau utopis. Lulus dari SD dengan nilai bagus dan mendapat beasiswa di luar negeri (disana juga mendapat nilai bagus) dan masuk ke kampus favorit dengan IPK yang sempurna adalah impian semua orang. Tapi sayangnya, aku melihat elemen ini hanya digunakan sebagai pemanis dan perangkai cerita saja. Mungkin Tere Liye ingin fokus ke arah percintaaan saja. Menurutku apabila dieksplor lebih baik, cerita ini tidak akan terlalu mudah ditebak arahnya, tentu kisah ini akan menjadi lebih menarik.

“Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaannya sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta” --Tania

Dari sekian banyak percakapan yang menjadi cara utama Tere Liye dalam merangkai kisah ini disamping pikiran tokoh utama, inilah yang paling menyentuh. FYI, sudah dua bulan ini hatiku kacau. Seperti kutipan diatas aku selalu mencari kesibukan yang aneh-aneh. Mendesain proyek, menulis serampangan, bermain game online (yang aku tinggalkan sejak aku SMA karena suatu hal). Aku tidak sadar kalau setiap malam aku bermimpi untuk menghubungkan semuanya, tapi pada akhirnya aku lari dari semua itu karena aku yakin ini semua hanya mimpi, hanya rajutan asa tanpa benang kenyataan!!

Aku tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaanku terhadap Diajeng, Diajeng mungkin juga tidak tahu bagaimana seharusnya dia terhadapku. Aku menaruh harapan besar dipundaknya, merajut asa bersama. Tapi, dia tidak nyaman dengan semua itu. Akhirnya ketika ramadhan kemarin, Diajeng memutus semua komunikasi denganku. Aku? satu kata, kalang kabut. Pada saat itu aku tidak mengerti. Bagaimana tidak? Ketika dia pulang kita masih mesra, saling menjanjikan masa depan satu sama lain. Aku tahu, segala usahaku pasti membuatku semakin dibenci karena usahaku mencari penjelasan.

Akhirnya aku menyerah, aku menengelamkan semuanya dalam kisah serampangan.

Aku berjanji akan meluapkan segala kekesalanku padanya. Menagih semuanya secara kontan. Oleh karena itu, lima hari setelah lebaran ternyata ada rapat koordinasi. Rapat ini didatangi oleh semua divisi, mengingat aku dan dia adalah CO dari divisi yang lumayan penting, aku yakin dia bakal ada disana. “Ini adalah momen yang tepat” pikirku. Orang tuaku protes kenapa aku harus kembali ke jogja secepat itu, aku hanya memberikan alasan tentang tanggung jawab. Memang benar aku punya tanggung jawab besar di rapat itu, tapi dilain sisi ada alasan yang lebih kuat. Aku harus mendapat penjelasan.

**********
  Aku tak bisa berkata apa-apa.

Mulut ini terkunci rapat melihat Diajeng mempresentasikan progress perkembangan divisinya. Tatapanku kosong, redup dan tak bisa apa-apa. Ketika waktuku untuk berbicara, aku hanya berbicara seformal-formalnya. Temanku bertanya ada apa denganku. Tapi aku hanya bisa membalas dengan senyuman simpul.

Akhir rapat itu aku memberanikan diri. Di depan pintu rumah
natas aku menagih semuanya. Tapi cuma suara lirih yang terdengar. “Diajeng, kamu ada waktu buat bicara?” Tanyaku. Tanpa menoleh dia hanya menjawab “ Maaf, aku harus mengejar bus kembali ke magelang, aku nggak menginap di jogja” Entah kenapa, semua kekuatanku lenyap. Aku akhirnya hanya menjawab dengan “ooh” dan langsung nyelonong masuk ke ruangan. Disana aku salah tingkah, aku ingin cepat pulang tapi ada saja yang ketinggalan. Akhirnya dengan susah payah aku sudah ada di parkiran hendak mengambil motor. “Hati-hati Diajeng” ucapan itu keluar sekaku-kakunya dari mulutku. “ Iya, kamu juga ya”

Aku penakut? Entah… ada paradoks di hatiku. Aku ingin secepat-cepatnya mendapat penjelasan tapi disisi lain aku ingin semuanya mengalir. Aku tahu waktunya tidak akan tepat.

“Bsk malem ketemuan yuk”

DI hapeku tertera kalimat yang terdiri dari empat kata itu. Tidak sia-sia penantianku, aku yakin semua pertanyaanku akan terjawab secara kontan. Dibayar dengan tunai.

Siangnya, aku memperbaiki motorku karena koplingnya rusak, ah sial sudah habis banyak mana harus menunggu lama lagi. Tapi ternyata hariku tidak suram, Diajeng baru saja selesai reportase. Segera saja aku ajak makan bersama. Sayang tidak bisa berdua, Teman karib kita berdua Ada disana. Aku memang tidak lapar, tapi aku iyakan saja karena memang aku sudah kangen berat.

Disana aku memesan Mie ayam Galau, Mie ayam ini sebenarnya cuma mie ayam ukuran jumbo dengan bakso yang sangat besar. Terlihat sedikit gerik aneh dari Diajeng ketika aku memesan itu. Aah biarlah, sekarang biarkan laki-laki yang mengirim kode. Sejenak kemudian, Diajeng memesan mie biasa serta es teh lemon. Sepanjang percakapan, hanya kecanggungan yang terasa walaupun sahabar karibku ini berusaha mati-matian untuk mencairkan suasanya tetap saja aku tenggelam dibalik mie ayam dengan bakso jumbo ini.

Malamnya semua itu terjadi.

Semua pertanyaanku terbayar dengan kontan. Dia tetap adalah Diajeng yang aku kenal. Dia memang butuh waktu untuk menjawab semua pertanyaanku. Aku komplain semuanya pada dia. Bagaimana aku kehilangan tongkat ketika banyak sekali cobaan, bagaimana aku hampir saja kehilangan harapan Karena banyak sekali janji-janji masa depan yang datang.

Ternyata Diajeng hanya butuh jarak saja, untuk memastikan semuanya. Dia tertawa kecil sambil menceritakan bagaimana ibunya mengingatkan hapenya yang selalu berdering meminta perhatian. Aku tersenyum kecut, aku tahu deringan itu adalah aku, tapi dengan pembawaan Diajeng aku tahu semuanya akan baik-baik saja.

Paginya dia membangunkanku dengan meneleponku, hampir terharu aku akhirnya melihat foto Diajeng kembali berada di layar hapeku. Aku kembali besyukur, dia sudah Diajeng yang dulu dengan candaan renyahnya, suaranya yang seksi tetap saja tidak kehilangan apapun. Kecanggungan sudah hilang. Semua pertanyaan, semua ketidak-pastian sudah menguap.

11.20 PM

Walaupun di buku Tere Liye ini berakhir dengan kisah yang mengantung, Tania berhasil mengungkapkan kembali perasaannya yang sudah lama dipendam tapi terputus ditengah jalan dengan sadisnya oleh Tere Liye. Walaupun seperti itu, Tania mengajarkanku bagaimana menjaga perasaan, bagaimana untuk tetap percaya.

“Cinta tak harus memiliki. Tak da yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang amat 
sempurna. Tabiatnya, Kebaikannya, Semuanya. Tetapi dia tidak sempurnya. Hanya cinta yang sempurna. Esok lusa aku mungkin akan menemukan pilihan yang rasional”- Tania

Sebagai penutup. Malam ini, ah tidak dua bulan ini aku belajar bagaimana caranya mengikhlaskan, bagaimana untuk tidak terlalu menuntut, bagaimana caranya untuk menerima kenyataan dan bagaimana berdinamika dalam kisah kita…


Diajeng terimakasih, terimakasih sudah mengijinkanku menjadi bagian dari hidupmu, tumbuh besar bersamamu. Semoga kisah kita akan tidak akan berakhir ditangan Tere Liye yang dengan sadisnya menutup kisah Tania.

Sekali lagi terimakasih Diajeng….

Tribute to @aninditaninda



0 comments:

Ini Opiniku, Ini ruangku, Ini adalah aku
Tak Masalah tentang apa yang aku tulis disini, karena semua ini hanyalah opini belaka.