"Gamelan" Saksi Perjuangan Mbah Sur Melawan Birokrasi
“Karena Simbah sudah tidak percaya birokrasi”
mengenakan
daster hijau khas orang tua. Perlahan beliau menuntun natas untuk menuju
ruang
tamu yang bersebelahan dengan gamelan (peralatan musik khas Jawa). Ketika natas
menyinggung
gamelan yang berada di pendopo, beliau menceritakan kisahnya sepuluh
tahun
lalu menagih janji Sultan Hamengkubuwono X dan melawan birokrasi.
Dengan
lancar dan intonasi naik turun beliau menjelaskan gamelan ini bukan gamelan
biasa.
“Ini
lain dengan yang lain. Karena perjuanganku, birokrasi sudah tidak bisa
dipercaya” tegas
beliau.
Simbah yang berasal dari Borobudur ini menegaskan perjuangan mendapatkan
gamelan
ini merupakan bukti nyata mengapa beliau tidak percaya lagi dengan birokasi.
Berhubung
dengan minat warga yang besar atas kesenian karawitan. Simbah meminta
pertemuan
dengan Sultan. Ketika ditanya natas kapan pertemuan tersebut dilaksanakan
beliau
menjawab dengan jujur bahwa beliau lupa. Pada pertemuan itu Simbah dijanjikan
gamelan.
Namun gamelan yang dijanjikan adalah gamelan yang terbuat dari besi yang kalah
kualitasnya
dengan kuningan ataupun perunggu. Sultan kemudian meminta Simbah untuk
menulis
proposal dan menyerahkannya ke petugas keamanan Keraton. Tentu mendengar
kabar
mengejutkan ini dengan antusias langsung saja beliau membuat proposal dan
ditembuskan
ke petugas keamanan Keraton.
Bertahun-tahun
ditunggu namun tidak ada jawaban dari pihak keamanan Keraton, pada
hari
Sabtu (beliau tidak ingat tanggal pastinya). Simbah yang penasaran kemudian
mencari
kejelasan
dari Keraton. Ketika ditanya, pihak Keraton menjawab bahwa berkas telah
dilimpahkan
ke Kepatihan. Di Kepatihan beliau tidak mendapat kejelasan, beliau diminta
kembali
hari Senin. Tapi Kepatihan meminta arsip permohonan gamelan Simbah. Karena
percaya,
Simbah menyerahkan berkas tersebut.
Sekembalinya
Simbah ke Keraton pada hari Senin yang dijanjikan. Beliau justru bertemu
dengan
petugas yang berbeda. Ketika petugas menanyakan arsipnya, Simbah mengatakan
sudah
diberikan Sabtu lalu. “Ibu itu gimana to? Arsip kok sembarangan diserahkan” Tanya
petugas.
Simbah menjawab “Loh kemarin diminta sama orang sekuriti (petugas keamanan
keraton
-red) kok nggak boleh itu gimana?“ Dengan nada tinggi petugas menjawab “Orang
tua
kok nggak tertib itu gimana? Apa saya harus mengaduk proposal sekian tumpukan?
Saya
nggak mau kalau tidak tertib!” Simbah terkejut, sebagai orang tua yang
diperlakukan
seperti
itu beliau mengaku tersinggung.
Dengan
kepala dingin beliau tidak menanggapi ocehan petugas dan langsung menemui
kepala
petugas keamanan keraton. Tapi aral kembali melintang, Kepala petugas keamanan
keraton
mengatakan bahwa yang bertanggung jawab atas proposal yang masuk ke keraton
sedang
menunaikan ibadah haji. “Lalu nasib proposal kami bagaimana, Pak?” Tanya
Simbah.
“Bukan
urusan saya” Jawab Pak kepala singkat. Putus asa, Simbah yang bersuami Suryono
Suryo
Atmojo ini akhirnya pulang ke kediamannya.
Akhirnya
di tengah keputusasaan, Simbah menulis surat kepada Sultan tentang betapa
kecewanya
beliau dengan iming-iming janji Sultan. Sultan kaget membaca surat tersebut
dan
menanyakan kepada bawahannya tentang penyerahan gamelan. Hal ini membuat
para
birokrat ( BPD, Pemkab, kecamatan) meminta penjelasan Simbah atas suratnya yang
dianggap
menodai prosedur. Simbah datang dengan tenang. Simbah utarakan semua
uneg-uneg
menghadapi birokrasi yang berliku-liku. Pejabat teras terdiam mendengar kritik
Simbah.
Kemudian
dari pihak kabupaten memberikan solusi agar Simbah memulai dari awal. Simbah
merasa
persoalan sudah diselesaikan dan kemudian beliau memulai dari awal. Beberapa
hari
kemudian, utusan dari Sultan datang meminta persetujuan tentang penyerahan
gamelan
dari keraton ke Simbah. Dijanjikan dua hari lagi gamelan datang. Tapi tanpa
disangka
ternyata besoknya gamelan langsung diantar ke kediaman beliau.
Simbah
yang memang terkenal sebagai pekerja seni ini mengaku gembira ketika gamelan
yang
ditunggu-tunggu datang. Perjuangannya tidak sia-sia, sekarang gamelan
istimewanya
tidak
hanya dipergunakan untuk latihan rutin ibu-ibu di lingkungannya. Alat musik
khas
Jawa
itu juga dipersilahkan untuk dipinjam desa-desa lain. Beliau merasa gamelan ini
milik
bersama
bukan milik pribadi maupun kelompok.
Sekarang
alunan musik gamelan yang merdu bisa terdengar di setiap sudut desa. Mengusik
senyapnya
malam di dusun Boro, desa Banjarsari. Tapi kisah perjuangan Simbah tentang
lika-liku
birokrasi akan tetap terngiang oleh orang tua yang dengan gigihnya menentang.
Simbah
sekarang bisa tersenyum.