Mendekati “Mahasiswa”
Ketika
kemarin melihat Indonesia muda bertarung melawan Vietman hati ini
berdesir-desir mau sampai kapan drama ini akan berlanjut? Sampai-sampai saya
merasa salah channel, jangan-jangan ini MNC Drama bukan siaran langsung
pertandingan final sepak bola AFF CUP 2013. Tapi disana terasa semangat nasionalisme
memuncak sampai ubun-ubun dan merasa sangat bangga akan Indonesia. Tapi setelah
itu? kosong seolah tak pernah terjadi apa-apa, mungkin perayaan telah berpindah
dari dunia nyata ke dunia maya.
Tapi akankah
bertahan lama? Tidak paling Cuma jadi TTWW (Trending topic worldwide) sejenak
lalu akan hilang ditelan twit-twit galau lainnya.
Nasionalisme
di Indonesia terkesan seperti lilin pendek, begitu lapisan lilinnya habis habis
pula apinya. Selalu meledak diawal tapi tidak bisa kontinu. Hal yang paling
tercermin tentang nasionalisme adalah ketika berdemokrasi. Contoh simpelnya
seperti mengutarakan pendapat di forum biasa atau di kelas. Tapi kalau melihat
Mahasiswa baru di Sanata Dharma ini bagaimana? Satu metafora mungkin yang bisa
menjelaskan. Malu-malu kucing.
Kenapa
budaya ini seolah-olah menjadi ciri khas para mahasiswa baru di sanata dharma?
Cuma duduk diam, mendengarkan dan pulang. Hanya segelintir orang yang vokal dalam
menyuarakan pendapatnya. Padahal mahasiswa baru adalah ujung tombak perubahan
di Indonesia benarkah? Mari kita menjelajah masa lalu.
Kalau kita
mengaca pada daerah timur tengah, dimana pergolakan terjadi dimana-mana.
Dimulai dari Tunisia tahun lalu hingga kini berlanjut ke Bahrain dan Syria
serta Mesir. Ratusan ribu anak muda dengan penuh semangat turun ke jalan
merobohkan apa yang mereka anggap lalim melawan apa yang mereka anggap zalim.
Pada
akhirnya kita tahu kekuatan para pemuda
dan pemudi di timur tengah ini mampu membuat 4 diktator kocar kacir ada yang
melarikan diri. ada yang turun dari kekuasaan dan yang paling mengerikan ada
yang tewas secara mengenaskan ditangan rakyatnya sendiri
Tapi pada
akhirnya apakah budaya ini akan menular? ataukah pada dasarnya semua masyarakat
kita akan berpikir kekerasan adalah satu-satunya cara? Tentu saja kalau kita
menginginkan sesuatu pasti akan ada harga yang dibayar permasalahnya apakah
harga yang kita bayar pantas?
Latar
belakang yang terjadi di timur tengah mungkin sedikit berbeda dengan apa yang
terjadi di Indonesia tapi pada dasarnya sama masyarakat ingin suatu kepastian
suatu perubahan yang akan “membawa” mereka ke arah “yang lebih baik” menurut
anggapan mereka sendiri.
kita tahu
meski bukan satu-satunya gerakan mahasiswa selalu menjadi katalisator perubahan
sejarah negara ini menunjukan demikian contohnya pada tahun 1998 namun apakah
harus dengan kekerasan? Apakah kita harus selalu menciptakan tekanan pada
pemerintahan dengan cara memblokade jalanan? Memblokade rel kereta api?
Membakar pos polisi? Atau mencegat truk tanki pembawa BBM?
Is that worth the cost?
Apakah harga yang dibayar sama
dengan hasilnya? Memblokade jalanan tentu mengacaukan arus transportasi yang
tentunya mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Merusak fasilitas umum?
Hanya akan membuang uang rakyat yang digunakan untuk membangun fasilitas umum
itu.
Di tengah
spirit para pemuda yang membara semangat “membela” Rakyat seringkali berlaku
anarkis Tetapi seganas-ganasnya manusia tentu manusia berbeda dengan hewan
manusia mempunyai kontrol emosi yang sangat mumpuni oleh karena itulah kita
sangat berbeda dengan hewan kita menempatkan diri kita sendiri di rantai
makanan paling tinggi. Berbeda dengan makhluk lain.
Itu adalah
gambaran “mahasiswa” ketika melihat demo-demo yang mereka klaim “representatif”
akan kemauan masyarakat. Tapi apakah kita sebagai mahasiswa baru bahkan
mendekati “Mahasiswa”? saya membuat tulisan ini bukan untuk mengajak mahasiswa
baru untuk serta merta turun kejalan dan bertindak anarkis seperti penjelasan
diatas tapi setidaknya kita ambil segi positif dari mereka. Mereka berani
berinisiatif untuk menyuarakan pendapat mereka. Ini aksi mereka, mana aksimu?
Kalau mereka
bisa kenapa kita tidak?
0 comments: