Memakan Buah Durian [PEMILU 2014]
Pagi ini Jogja sudah berbeda, ini sudah bukan jogja yang
dulu. Bagaimana tidak? Dimana-mana “sampah visual” seperti Baliho, spanduk,
poster tentang “caleg” sudah mengkerumuni jogja. Ditambah parah lagi “sampah
visual” ini ditempel sembarangan di sisi jalan. Seolah-olah ketika berkendara
di jalanan Jogjakarta sudah seperti “Hutan iklan”.
Ditambah lagi ada satu kejadian yang membuat penulis geleng-geleng
kepala. Pagi hari ini sekitar jam 11an di dekat perempatan mirota kampus yang
terkenal dengan kemacetannya. Ada konvoi dari Partai Amanat Nasional [penulis
sengaja membeberkan identitas parpol] merangsek masuk minta didahulukan. Tiga
lajur di perempatan itu terpaksa “mengalah” membiarkan konvoi itu lewat. Tapi
yang membuat makin geleng-geleng kepala lagi adalah tingkah mereka. Sepeda
motor brong, bendera parpol oversize
diayun-ayunkan kemana-mana, bersikap seolah rajanya jalanan. Bahkan ada yang
memukul mundur seorang pengendara yang hendak merangsek masuk.
Ini yang baru penulis rasakan, bagaimana dengan jogja secara
keseluruhan? Ternyata masyarakat jogja juga tergangu dengan tingkah laku parpol
seperti itu. Dikutip dari @jogjaupdate “#jogja @ariiesandria : saya kecewa
dengan kampanye hari ini yang menggunakan motor sangat ugal2an.. sangat
menganggu wisatawan”, ”#jogja @lojiungu : Caleg gak mampu kendalikan masssa-nya
yang menengak miras, gak pake helm & knalpot blombong saat kampanye apa
patut dipilih?”
Tapi ternyata konsekwensi memang ada, para peserta konvoi
itu terkena getahnya. Dari akun twitter yang sama @jogjaupdate, “#jogja
@Mahendra0715 simpatisan partai kemarin byk yg terjaring / ditilang lantaran
tdk pakai helm & motor tanpa perlengkapan”
Bagi penulis tweet diatas adalah setetes air yang sejuk :D
Sekarang dengan paparan seperti diatas. Apa bedanya konvoi partai atau lebih spesifiknya parpol dengan anak SMA
yang baru saja lulus? Atau lebih tragis, apa bedanya parpol dengan anak remaja?
Penulis mengelus dada, ini memang bulan pesta demokrasi
Indonesia, 9 april 2014 nanti masyarakat indonesia yang “Peduli” bisa
menentukan nasib Indonesia lima tahun kedepan. Sekali lagi dengan paparan
diatas. Masyarakat Indonesia seperti dihadapkan dengan buah durian. Enak
dimakan tapi luar biasa bau ketika tidak “dicuci” dengan benar.
Seorang kawan dari penulis tertawa terbahak-bahak mendengar
analogi durian ini. Dia kemudian berargumen bahwa ini adalah konsekwensi dari
sistem demokrasi. Dimana semua orang bisa berbicara dengan bebas. Jadi ketika
ada yang memaksakan “kebebasan”nya terhadap orang lain, penulis diharapkan
maklum.
Penulis berdiam diri, tidak ada yang salah dengan sistem
demokrasi. Penulis percaya sistem demokrasi mampu mengakomodasi “kebebasan”
setiap individu dan hak mereka untuk berbicara. Tapi seringkali definisi
kebebasan sudah salah kaprah di masyarakat. Dosen penulis, Romo Hary
menjabarkan secara jelas bahwa kebebasan itu “harus” diikuti oleh “tanggung
jawab”, kebebasan selalu dibatasi oleh kebebasan individu lain.
“Gek koen arep
kepriye? Ora nyoblos? Ora melu nentuk’ke nasib’e Indonesia?” kata teman
penulis dengan nada berapi-api. Dia dengan semangat menjelaskan bahwa sebagai
mahasiswa tidak pantas kalau kita apatis terhadap pemilu. “Isin gak koe karo title mahasiswamu? Omonge mahasiswa iku agen
perubahan?” tutur teman penulis.
Memang kita yang “apatis” tidak bisa ikut menentukan nasib
Indonesia selama lima tahun kedepan. tapi jargon FFI ( Forum for Indonesia)
chapter ponorogo mengatakan hal yang lain.
Small Action for Big
Change
Jargon ini mengatakan
walaupun hanya tindakan kecil, tindakan ini mampu memberikan manfaat yang luar
biasa. Lihat saja FFI chapter ponorogo baru- baru ini, ketika gunung kelud
marah mereka langsung membersihkan abu yang ada dijalanan tanpa pamrih.
Sedangkan parpol? Mereka “menuntut” agar dipilih lagi dibalik bantuan-bantuan
yang terkesan masif.
Bagaimana sikap penulis terhadap PEMILU 2014?
“aku ket mbyen emang
gak seneng karo durian, ngerti ambune wae wes mumet” kata penulis mantab.
0 comments: