Kacamata Kusam Sang Rantau
Sudah satu bulan lebih, aku melewati ribuan pohon besi,
melewati ribuan memoar yang teronggok lesu di pinggir jalan. Lihatlah betapa
mereka mengebu-gebu memasang jendela baru yang lebih bersih, lebih bagus
daripada pendahulunya. Padahal mereka sudah berdiam diri, mematung menyaksikan
semua canda dan tawa sang pemilik rumah. Perkataan orang memang benar, sang
kacang telah lupa akan kulitnya. Tapi salahkah sang kacang? Dunia ini memang
berat, berat lagi ketika kau sudah terlupakan oleh sejarah dan hanya teronggok
lesu menjadi tontonan tikus di pojok gudang.
Di kampusku ada pohon besar yang kuat. Akar-akarnya menancap
kuat ditanah. Sampai-sampai perlu dibuatkan tempat khusus untuk sang pohon agar
tidak merusak gedung mewah disebelahnya. Kata seniorku. Pohon itu adalah
manifestasi dari segala yang pernah kampus ini lakukan. Dia memang tidak
bergerak, tapi dia diam menunggu dan melihat. Dia tidak pernah mengeluh tentang
bagaimana dia mulai terlupakan oleh mereka yang menyebut dirinya mahasiswa. Dia
tidak pernah mengeluh ketika manusia disekitarnya mulai mengenakan pakaian
setengah jadi. Pohon itu adalah saksi bisu kedurhakaan kacang akan kulit. Tapi
dia diam. mencatat semua dalam perkamen murahan yang tergantung di
langit-langit.
Kacamataku yang dulunya melihat cahaya-cahaya terang
benderang kini sudah tercemar. Sekarang dia hanya saksi bisu ketika malam
membuat nafsu berkobar menghanguskan kasih sayang. Kaca ini sama dengan pohon
itu. hanya bisa meringkuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Ketika dulu
dia melihat ratusan cahaya yang bersinar dari dalam diri manusia. Sekarang dia
hanya melihat gumpalan hitam yang terus mengelembung. Gelembung hitam ini terus
membesar melahap semua cahaya disampingnya.
Kacamata kusam bukahlah sesuatu yang tak bisa diperbaiki.
Kata orang banyak jalan ke Roma banyak pula jalan di Pontianak.
Berubahlah…
Berubahlah…
Walaupun sesuatu akan segera menghuni pojok tergelap di jalanan.
0 comments: